Senin, 16 November 2015

ujian Berbasis Computer

UJIAN BERBASIS KOMPUTER DAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Oleh SITI NURJANAH
ABSTRAK
Nurjanah, Siti. 2015: Pemberlakuan ujian nasional berbasis computer masih menjadi kekhawatiran sebagian guru bahasa Indonesia. Kekhawatiran ini terutama berkaitan dengan kemampuan akan penguasaan teknologi informasi sebagian guru bahasa Indonesia yang  masih rendah, juga karena ketersediaan perangkat yang belum seluruhnya terpenuhi. Namun kekhawatiran yang mendasar terletak pada upaya peningkatan kompetensi dalam pembelajarannya. Untuk itu diperlukan keterampilan yang cukup memadai terutama dalam penggunaan media khususnya media berbasis computer. Karena media sangat penting kehadirannya untuk menyampaikan pesan pada pembelajaran agar dapat meningkatkan pemahaman pada diri siswa dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Kata kunci: ujian berbasis komputer, pembelajaran bahasa Indonesia

Pengantar
Implementasi kurikulum 2013 yang dilaksanakan pada beberapa sekolah pilot sudah berjalan hampir 3 tahun. Itu artinya bahwa kurikulum 2013 mencapai tahap puncak ujicoba terutama pada elemen penilaian. Penilaian yang dimaksudkan adalah penilaian pada tingkat nasional. Dari sinilah pendekatan saintifik diuji kehebatanya secara nasional. 
Mungkin ini menjadi kekhawatiran bagi sebagian tenaga pendidik yang menerapkan kurikulum 2013. Terutama karena selain pendekatan yang harus diterapkan baru, juga karena kompetensi dasar dan cakupan materi sangat berbeda dengan kurikulum sebelumnya (khusus Bahasa Indonesia).  Namun kekhawatiran juga muncul pada system tes yang disarankan pada kurikulum 2013, Ujian yang dimaksud adalah ujian menggunakan perangkat computer. Hal ini sangat beralasan karena pada kenyataanya matapelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang sebelumnya diajarkan pada tiap-tiap kelas, justru pada kurikulum 2013 tidak dimasukkan sebagai mata pelajaran, akan tetapi menjadi sarana dalam setiap kegiatan pembelajaran.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M.Nuh yang menegaskan bahwa untuk pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) akan dihilangkan. TIK diintegrasikan di semua mata pelajaran, sehingga tidak ada pelajaran khusus untuk TIK. ( kompas.com tertanggal 14 November 2012) berikut kutipanya:
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa perkembangan teknologi saat ini sangat pesat. Untuk itu, mulai jenjang SMP, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) akan dijadikan sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran.
"Jadi TIK menjadi media semua mata pelajaran untuk jenjang SMP ini sehingga anak-anak juga bisa mengenal teknologi dengan baik," kata Nuh saat jumpa pers di Kantor Kemdikbud, Jakarta, Selasa (13/11/2012).

Kebijakan tentang pemanfaatan TIK dalam setiap pembelajaran sangat tepat  untuk menjawab tantangan global 2025. Namun benarkah setiap tenaga pendidik yang ada memiliki keterampilan yang cukup memadai untuk hal itu? Akan menjadi masalah dan kekhawatiran yang berlebihan manakalah tenaga pendidik tidak memilikinya. Lalu, bagaimana mungkin kita mengharapkan peserta didik memiliki keterampilan yang memadai tentang pemanfaatan TIK, sementara tidak ada materi pembelajaran yang mengajarkan tentang kecanggihan TIK. Bahkan mungkin hanya sedikit atau tidak ada sama sekali tenaga pendidik yang memanfaatkan kecanggihan TIK dalam kegiatan pembelajarannya.
Mungkin kedengarannya sangat ironis bahwa pelaksanaan ujian nasional dilaksanakan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi (yang lebih popular disebut CBT). Sementara belum semua tenaga pendidik dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi. Bahkan mungkin tidak semua sekolah memiliki sarana prasana seperti yang dimaksudkan.
Bukan bermaksud merendahkan kemampuan peserta didik, namun tanpa pengenalan dan pertemuan dengan frekuensi yang cukup dengan media computer akan berpengaruh pada kemampuan peserta didik tentang penggunaan computer.
Kekhawatiran itu sudah seharusnya diantisipasi oleh guru terutama guru Bahasa Indonesia yang materinya diujikan secara nasional dan menggunakan teknologi computer atau CBT. Untuk itu ada baiknya pada kesempatan kali ini dibahas tentang apa sih Computer Based Test? Untuk menjawab adakah kaitan antara pembelajaran bahasa Indonesia dengan ujian berbasis computer (CBT). Bagaimana sebenarnya kondisi pembelajaran bahasa Indonesia?; dan apa saja kecanggihan teknologi computer yang bias dijadikan media dalam pembelajaran Bahasa Indonesia?
Computer Based Test (CBT)
Ujian berbasis komputer yang lebih popular disebut CBT (Computer Based Test) atau CAT (Computer Aised Test) adalah ujian yang diselenggarakan dengan menggunakan komputer. Tes dengan menggunakan komputer dipandang sangat efisien dan praktis. Peserta tes dalam waktu yang bersamaan akan mendapatkan soal yang berbeda sehingga dapat meningkatkan semangat peserta tes untuk lebih meningkatkan kompetensinya.
Karakteristik dari tes ini sama dengan tes konvensional yaitu menggunakan satu perangakat tes untuk beberapa peserta dengan panjang tes yang sama (fixed test length). Perbedaannya terletak pada teknik penyampaian (delivery) butir soal yang tidak lagi meggunakan kertas (paperless), baik untuk naskah soal maupun lembar jawaban. Sistem skoring atau koreksi langsung dilakukan oleh komputer. Biasanya peserta bisa mengerjakan dan melihat butir soal dari nomor pertama sampai dengan terakhir. 
Banyak keuntungan dari pelaksanaan ujian berbasis computer ini, antara lain;
1.      Ujian dapat berlangsung dimana saja selama ada perangkat yang terkoneksi ke server  Ujian Online;
2.      Soal diacak otomatis oleh sistem sehingga tiap peserta tidak ada yang sama soal ujiannya, sehingga mengurangi kesempatan peserta ujian untuk melakukan kecurangan;
3.      Hasil Ujian dapat langsung diketahui setelah selesai ujian;
4.      Guru dapat menghemat waktu karena tidak mengoreksi dan memberi nilai pada ujian;
5.      Guru dan peserta didik semakin melek teknologi;
6.      Hemat kertas karena tidak perlu mencetak soal ujian dan LJK;
7.      Peserta ujian tidak perlu membawa alat tulis, rautan, dan papan alas;
8.      Memiliki timer setiap soalnya dan tepat waktu;
9.      Hemat waktu , karena tidak repot menghitamkan lembar LJK;
10.   Lebih aman, tak perlu repot memisahkan lembar jawaban dari lembar soal ataupun        khawatir kertas lembar jawabannya rusak;
Namun demikian ada beberapa kekurangan, misalnya apabila terjadi masalah listrik. Apakah software telah dirancang bisa dilanjutkan kembali ke kondisi terakhir setelah login? Hal ini akan menjadi kendala waktu.
Beberapa fakta lain menunjukkan, bahwa ujian kompetensi guru (UKG) yang dirancang menggunakan computer dan telah dilaksanakan beberapa waktu lalu secara online, tidak bias memberikan gambaran hasil sesuai harapan. Selain karena nilai UKG guru belum maksimal (di bawah standar), juga terbukti ada peserta yang gagal saat mengerjakan ujian kompetensi guru (UKG) sehingga nilainya nol (0). Hal ini bias jadi disebabkan karena kurang meleknya guru terhadap penggunaan Teknologi Informasi.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah “ bagaimana dengan hasil ujian berbasis computer pada siswa nantinya, akankah bernasib sama dengan yang telah dilaksanakan pada UKG?” Mungkin tidak akan bernasib sama apabila pembelajaran yang telah dilaksanakan cukup bagus. Jika pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas bias mengakomodir semua karakteristik peserta didik terutama dalam hal gaya belajar masing-masing peserta didik. Sesuai dengan pesan kurikulum 2013 bahwa teknologi informasi dan komputer menjadi sarana dalam setiap pembelajaran di kelas. Demikian halnya dengan pembelajaran Bahasa Indonesia. Ujian nasional berbasis computer tidak akan menjadi kendala jika sehari-hari peseta didik di kelas selalu berhubungan dengan computer dalam pembelajaranya.
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pendidikan bahasa Indonesia pada dasarnya bertujuan mengembangkan kemampuan berbahasa   Indonesia   siswa   sesuai   dengan fungsi bahasa sebagai wahana berpikir dan wahana berkomunikasi untuk mengembangkan potensi intelektual, emosional, dan sosial. Bahasa sangat fungsional dalam kehidupan manusia, karena selain merupakan alat komunikasi yang paling efektif, berpikir pun menggunakan bahasa. Azies dan Alwasilah (1997: 12) dan  Akhadiah (1992: 18) mengungkapkan, bahwa di seluruh dunia masalah literasi atau melek huruf ini merupakan  persoalan manusiawi sepenting dan semendasar persoalan pangan dan papan. Menurut Gani (1995: 1) proses pendidikan bahasa sejak di sekolah dasar harus mampu mewujudkan lulusan yang melek huruf dalam arti yang lebih luas yaitu melek teknologi dan melek pikir yang keseluruhannya juga mengarah pada melek kebudayaan. Bahkan ketika rupiah tidak kunjung punya taji,  Presiden Joko Widodo sempat menganggap bahasa sebagai bagian sumber masalah. Investor terkendala dalam berbahasa sehingga tidak berminat menanam modal di Indonesia, dan serta merta mengubah permenaker nomor 12 tahun 2013 yang intinya tenaga kerja asing tidak perlu diuji kemampuan berbahasa Indonesianya, alias mereka boleh menggunakan bahasa asal mereka, di mana saja.(Suprianto Annaf, Bidasan Bahasa:Media Indonesia)
Mengingat pentingnya bahasa sebagaimana tersebut di atas dan berdasarkan berbagai hasil temuan yang mengungkapkan bahwa proses pembelajaran bahasa Indonesia serta hasilnya belum sebagaimana yang diharapkan. Penyebabnya pada umumnya bahwa kegagalan itu bersumber pada guru dan metodologi pembelajaran   serta   sumber   daya   pendidikan   yang kurang menunjang. Rofi’uddin dan Zuhdi (1999: 37) mengungkapkan bahwa rendahnya kemampuan dalam hal baca-tulis terus dikumandangkan, bahkan hasil penelitian kemampuan membaca tingkat sekolah dasar yang dilaksanakan oleh The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA, 1992) menunjukkan bahwa kemampuan membaca peserta  didik  sekolah  dasar  Indonesia  berada  pada urutan ke 26 dari 27 negara yang menjadi sampel penelitian. Tepatnya kemampuan membaca peserta didik sekolah dasar di Indonesia terendah di kawasan ASEAN. Lebih parah lagi Ismail (Jalal dan Supriadi, 2001: xxxi) mengemukakan hasil observasinya di beberapa negara bahwa anak-anak Indonesia “rabun membaca dan lumpuh menulis.
Demikian pula hasil studi peneliti terdahulu terhadap proses pembelajaran bahasa Indonesia yang dikembangkan oleh guru-guru  SD laboratorium UPI Kampus Cibiru, diperoleh gambaran pada umumnya pembelajaran bahasa Indonesia yang dikembangkan oleh guru-guru tersebut belum menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa peserta didik. Salah satu faktor penyebabnya adalah guru terlalu terikat dengan buku paket bahasa Indonesia dalam melaksanakan pembelajaran. Peserta   didik belajar berkomunikasi baik lisan maupun tulisan hanya mengandalkan dari satu sumber yaitu buku paket. Belum memberdayakan berbagai sumber belajar yang ada di sekitar peserta didik. (Jurnal Pendidikan Dasar, 2008:10).
Pembelajaran Bahasa Indonesia pada kurikulum 2013 berbasis teks, dan mengamanatkan bahasa Indonesia menjadi penghela bagi matapelajaran yang lain. Artinya bahwa kemampuan memahami dan menuangkan ide, gagasan, maupun pemikiran dalam bentuk teks menjadi penekanan utama. Tentu teks yang diharapkan disajikan pada kegiatan pembelajaran adalah teks yang berkaitan dengan kehidupan nyata.  Bukan fakta yang hanya ada di buku sementara dalam kehidupan sesungguhnya jarang ditemui.
Permasalahan di atas jelas bersumber pada bagaimanakah pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan di kelas. Dua komponen penting dalam proses pembelajaran adalah metode pembelajaran dan media pembelajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pembelajaran yang digunakan. Penggunaan media yang tepat dalam pembelajaran sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran.
Selain dapat membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pengajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Hamalik (1986) mengemukakan bahwa pemakaian media pengajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.
Menghadapi permasalahan tersebut di atas, penting bagi guru bahasa Indonesia untuk menggunakan media dalam setiap pembelajarannya. Terutama media yang berbasis computer. Tidak saja untuk membangkitkan gairah belajar siswa, tetapi juga mengajak peserta didik juga melek teknologi. Selain itu computer memiliki aneka ragam bentuk media yang bias digunakan dalam pembelajaran dan memiliki kemampuan yang lengkap dalam menyampaikan pesan.
Media Pembelajaran Berbasis Komputer
Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),  penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif.. Pemanfaatan teknologi untuk mengoptimalkan tujuan pembelajaran dapat menciptakan kemenarikan siswa daripada hanya sekedar mendengarkan penjelasan dari guru (teacher center).
Penyajian materi yang baik bisa menstimulus pembelajar untuk berpikir kritis dan kreatif, mengembangkan pengetahuannya dan mengaplikasikan pengetahuannya secara konkret. Karena dengan pemahaman yang menyeluruh tentang suatu konsep pengetahuan, tidak hanya akan membuat daya ingat semakin kuat tetapi kemampuan siswa untuk problem solving juga akan semakin terasah.
Prinsip-prinsip dalam pemilihan media pembelajaran harus dilaksanakan guna memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang konstruktif. Prinsip yang dimaksud,  antara lain:
1.      Kesesuaian media dengan tujuan pembelajaran
2.      Kesesuaian media dengan lingkungan belajar
3.      kesesuaian media dengan karakteristik pembelajaran
4.      Kemudahan dan keterlaksanaan pemanfaatan media
5.      Kefisiensi media dalam kaitannya dengan waktu, tenaga dan biaya
6.      Keamanan bagi pembelajaran
7.      Kemampuan media dalam mengaktifkan siswa.
Komputer merupakan jenis media yang secara virtual dapat menyediakan respon yang segera terhadap hasil belajar yang dilakukan oleh siswa. Lebih dari itu, komputer memiliki kemampuan menyimpan dan memanipulasi informasi sesuai dengan kebutuhan.
Sajian multimedia berbasis komputer dapat diartikan sebagai teknologi yang mengoptimalkan peran komputer sebagai sarana untuk menampilkan dan merekayasa teks, grafik, dan suara dalam sebuah tampilan yang terintegrasi. Dengan tampilan yang dapat mengkombinasikan berbagai unsur penyampaian informasi dan pesan, komputer dapat dirancang dan digunakan sebagai media teknologi yang efektif untuk mempelajari dan mengajarkan materi pembelajaran yang relevan misalnya rancangan grafis dan animasi.
Multimedia berbasis komputer dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana dalam melakukan simulasi untuk melatih keterampilan dan kompetensi tertentu. Misalnya, penggunaan simulator kokpit pesawat terbang yang memungkinkan peserta didik dalam akademi penerbangan dapat berlatih tanpa menghadapi risiko jatuh. Contoh lain dari penggunaan multimedia berbasis komputer adalah tampilan multimedia dalam bentuk animasi yang memungkinkan mahasiswa pada jurusan eksakta, biologi, kimia, dan fisika melakukan percobaan tanpa harus berada di laboratorium.
Perkembangan teknologi komputer saat ini telah membentuk suatu jaringan (network) yang dapat memberi kemungkinan bagi siswa untuk berinteraksi dengan sumber belajar secara luas. Jaringan komputer berupa internet dan web telah membuka akses bagi setiap orang untuk memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan terkini dalam bidang akademik tertentu. Diskusi dan interaksi keilmuan dapat terselenggara melalui tersedianya fasilitas internet dan web di sekolah.
Beberapa bentuk penggunaan komputer media yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia meliputi:
1.  Multimedia Presentasi.
Multimedia presentasi digunakan untuk menjelaskan materi-materi yang sifatnya teoretis, digunakan dalam pembelajaran klasikal dengan group belajar yang cukup banyak. Pengenalan materi pembelajaran seperti struktur teks, jenis dan macam teks bias menggunakan media ini. Kelebihan media ini adalah menggabungkan semua unsur media seperti teks, video, animasi, image, grafik dan sound menjadi satu kesatuan penyajian. Program ini dapat mengakomodasi siswa yang memiliki tipe visual, auditif maupun kinestetik.
2. CD Multimedia Interaktif
CD interaktif dapat digunakan pada pembelajaran di sekolah sebab cukup efektif meningkatkan hasil belajar siswa. Terdapat dua istilah dalam perkembangan CD interaktif ini yaitu Computer Based Instructuion (CBI) dan Computer Assisted Instructuion (CAI) Sifat media ini selain interaktif juga bersifat multi media terdapat unsur-unsur media secara lengkap yang meliputi sound, animasi, video, teks dan grafis. Beberapa model multimedia interaktif di antaranya:
Model Drill: Model drills dalam CBI pada dasarnya merupakan salah satu starategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya.
Model Tutorial: Program CBI tutorial dalam merupakan program pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat lunak berupa program komputer yang berisi materi pelajaran. Metode Tutorial dalam CAI pola dasarnya mengikuti pengajaran Berprograma tipe Branching yaitu informasi/mata pelajaran disajikan dalam unit – unit kecil, lalu disusul dengan pertanyaan. Respon siswa dianalisis oleh komputer (Diperbandingkan dengan jawaban yang diintegrasikan oleh penulis program) dan umpan baliknya yang benar diberikan. (Nana Sudjana & Ahmad Rivai:139). Bentuk-betnuk latihan soal bias dibuat melalui media ini.
Model Simulasi: Model simulasi dalam CBI pada dasarnya merupakan salah satu starategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya.
Model Games: Model permainan ini dikembangkan berdasarkan atas “pembelajaran menyenangkan”, di mana peserta didik akan dihadapkan pada beberapa petunjuk dan aturan permainan. Dalam konteks pembelajaran sering disebut dengan Instructional Games (Eleanor.L Criswell, 1989: 20)
Pada umumnya tipe penyajian yang banyak digunakan adalah “tutorial”. Tutorial ini membimbing siswa secara tuntas menguasai materi dengan cepat dan menarik. Setiap siswa cenderung memiliki perbedaan penguasaan materi tergantung dari kemampuan yang dimilikinya.
Video
Video termasuk media yang dapat digunakan untuk pembelajaran. Video ini bersifat interaktif-tutorial membimbing siswa untuk memahami sebuah materi melalui visualisasi. Siswa juga dapat secara interaktif mengikuti kegiatan praktek sesuai yang diajarkan dalam video. Video yang dirancang/dibuat sendiri bisa dijadikan rangsangan bagi siswa untuk menulis sebuah teks.


4. Internet
Internet, singkatan dari interconection and networking, adalah jaringan informasi global, yaitu,“the largest global network of computers, that enables people throughout the world to connect with each other¨. Pemanfaatan internet sebagai media pembelajaran mengkondisikan siswa untuk belajar secara mandiri. “Through independent study, students become doers, as well as thinkers” (Cobine, 1997). Para siswa dapat mengakses secara online dari berbagai perpustakaan, museum, database, dan mendapatkan sumber primer tentang berbagai peristiwa sejarah, biografi, rekaman, laporan, data statistik, (Gordin et. al., 1995). Internet bisa juga dijadikan sebagai ajang diskusi membahasa masalah dengan teman sekelasnya.
Pemanfaatan internet sebagai media pembelajaran memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:
1.      Dimungkinkan terjadinya distribusi pendidikan ke semua penjuru tanah air dan kapasitas daya tampung yang tidak terbatas karena tidak memerlukan ruang kelas.
2.      Proses pembelajaran tidak terbatas oleh waktu seperti halnya tatap muka biasa.
3.      Pembelajaran dapat memilih topik atau bahan ajar yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing.
4.      Lama waktu belajar juga tergantung pada kemampuan masing-masing pembelajar/siswa.
5.      Adanya keakuratan dan kekinian materi pembelajaran.
6.      Pembelajaran dapat dilakukan secara interaktif, sehingga menarik pembelajar/siswa; dan memungkinkan pihak berkepentingan (orang tua siswa maupun guru) dapat turut serta menyukseskan proses pembelajaran, dengan cara mengecek tugas-tugas yang dikerjakan siswa secara on-line.
Simpulan
Ujian Nasional berbasis computer (CBT) bukanlah hal yang berlebihan, namun demikian perlu adanya persiapan yang matang bagi tenaga pendidik khususnya guru bahasa Indonesia dalam rangka memberi bekal dasar kompetensi berbahasa Indonesia yang baik bagi peserta didik. Terutama sekali bukan karena ujian yang berbasis computer akan tetapi karena pentingnya bahasa Indonesia bagi kelangsungan peradaban generasi muda ke depannya, dalam menghadapi tantang global 2025
Rendahnya kemampuan siswa terhadap kemampuan membaca dan menulis semata-mata bukan karena metode pembelajaran yang diterapkan, melainkan juga karena pemanfaatan media yang digunakan. Untuk itu pembelajaran menggunakan media berbasis kecanggihan teknologi mutlak diterapkan oleh guru bahasa Indonesia dalam pembelajaranya. Terutama sekali untuk membangkitkan minat, dan motivasi siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Daftar Rujukan
Azies, Furqonul dan Alwasilah, A. Chaedar (1996) Pengajaran Bahasa Komunikatif:
Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muchlisoh, dkk. (1992). Materi Pokkok Pendidikan Bahasa Indonesia 3. Jakarta:
Depdikbud; Proyek Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis.

Tarigan, Henry Guntur. (1989). Metodologi Pengejaran Bahasa: Suatu Penelitian
Kepustakaan. Jakarta: Depdikbud.

Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan
Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.2008. Media Pembelajaran dan Sumber Belajar. Materi Diklat Calon Pengawas Sekolah/Pengawas Sekolah. Jakarta











soal bin

soal ujicoba UN CBT soal BIN BIN

Senin, 27 Februari 2012

music

Selasa, 25 Oktober 2011

STANDARISASI KOMPETENSI BAHASA INDONESIA PADA SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL DALAM KERANGKA PENDIDIKAN KARAKTER




Siti Nurjanah

Abstrak. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia, berkualitas internasional dan lulusannya berdaya saing internasional. SBI merupakan kebijakan pemerintah (UU nomor 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3) tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dirancang untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainya. Hal ini diharapkan dapat menjawab tantangan persaingan dalam bidang teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia (SDM). Salah satu kebijakan pelaksanaan SBI adalah bilingual sebagai medium of instruction.
Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa pembelajaran bahasa Indonesia kurang diminati siswa. Hasil tes UKBI pada lembaga bahasa menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Sementara sudah kita pahami bersama, bahwa bahasa Indonesia diharapkan dapat menjadi kekuatan politis dalam kancah budaya global sebagaimana amanat UU no 24 tahun 2009 tentang bahasa negara.
Bagaimana mencetak sumber daya manusia yang handal, yang kompetitif dan mampu bersaing dalam dunia yang mengglobal ini, tentu saja tidak lepas dari peran aktif sang guru. Pembelajaran sudah semestinya diarahkan untuk mengembangkan multiple intelegence siswa. Pembelajaran diarahkan untuk mengajak siswa berpikir kritis dan peka terhadap lingkungan. Terutama pembelajaran bahasa Indonesia.
Karenanya perlu standarisasi kompetensi terhadap kelayakan guru bahasa Indonesia yang berhak mengajar pada sekolah bertaraf internasional. Bagaimana seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia diterapkan dan bagaimana standar penilaian bagi siswa untuk dapat dinyatakan lulus sekolah bertaraf internasional terkait kompetensi berbahasa yang mencakup aspek berbicara, menulis, menyimak, dan membaca. Terutama dalam kerangka pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Kata Kunci: Standarisasi Kompetensi, Sekolah Bertaraf Internasional, Pendidikan
Karakter


Dunia pendidikan tak ubahnya dunia bisnis Amerika yang selalu mengalami pembenahan-pembenahan menuju peningkatan mutu, agar dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Demikianlah dunia pendidikan kita. Globalisasi yang berkembang multi dimensi mengharuskan pula perubahan dari sistem pendidikan kita. Kesemuanya mengarah pada mutu produk pendidikan agar dapat diterima dan memenuhi tuntutan global.
Tiga faktor utama yang diperlukan menghadapi persaingan global ini, antara lain adalah keunggulan teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia. Namun dari tiga hal tersebut yang terpenting adalah sumber daya manusianya. Bagaimana membangun sumber daya manusia yang ada ini hingga mampu bersaing dalam dunia global? Jawabannya tentu melalui dunia pendidikan. Bagaimana mendesain dan mengelolah dunia pendidikan kita hingga dapat memenuhi tantangan persaingan global? Sekolah Bertaraf Internasional salah satu jawabannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 2000/2001) yang dirancang untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainya, dijelaskan, bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Juga peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang diuraikan dalam pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
SBI (sekolah bertaraf internasional) adalah sekolah yang menyiapkan peserta didik berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia yang tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Pengembangan SBI mengacu pada SNP + X, yaitu sekolah harus memenuhi 8 standar nasional meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Sedangkan X yaitu nilai plus berupa pengayaan, pengembangan, perluasan melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
SBI dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan prakarsa sekolah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan pengembangan kurikulum mutakhir dan canggih sesuai perkembangan ilmu pengetahuan global, pro perubahan dan inovatif, memiliki visi ke depan dengan SDM yang profesional dan didukung sarana prasarana yang lengkap dan canggih.
Salah satu komponen paling penting adalah kurikulumnya mengacu ke kurikulum yang digunakan oleh negara-negara OECD. Untuk kepentingan itu maka bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Inggris terutama pada matapelajaran matematika dan Sains.
Di sisi lain Mursal Esten dalam artikelnya yang berjudul Bahasa dan Sastra sebagai Identitas Bangsa dalam Proses Globalisasi (2002) menjelaskan, bahwa fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Yang dikatakan Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, yakni penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan teknologi). Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti ketimbang disikapi secara cermat dan arif. Ada anggapan bahwa proses globalisasi informasi akan membuat dunia seragam karena akan menghapus jarak. proses globalisasi akan mengaburkan pula batas budaya masyarakatnya dan nyaris menghilangkan identitas suatu bangsa.
Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional dan fenomena tantangan global maka tidak bisa dianggap remeh UU no 20 tahun 2003 tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang tidak sedikit menuai kritik. Terutama terkait upaya peningkatan pemakaian bahasa Indonesia pada tataran Internasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang no. 24 tahun 2009 tentang bahasa negara.
Salah satu kritik adalah artikel Satriadarma berjudul “Kunjungan Guru SBI ke Jepang: Once Upon Time....” dengan sinis dikatakan, bahwa negara OECD yang dijadikan acuan bagi terselenggaranya Sekolah Bertaraf Internasional, ternyata tidak menerapkan pemakaian bahasa Inggris sebagai pengantar dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Mereka tetap menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Di Jepang menggunakan bahasa Jepang, di Inggris menggunakan bahasa Ingris, di Prancis menggunakan bahasa Prancis, di Korea juga tetap pakai bahasa Korea dst.
Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa berdasarkan analisis BSNP yang
disampaikan Mungin Eddy Wibowo, kebanyakan mata pelajaran yang diulang pada UN adalah Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki tingkat kelulusan rendah. Sebesar 75% siswa tidak lulus gagal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. (KGI:Berita Republika,12 Mei 2010). Hal ini sangat masuk akal jika pembelajaran bahasa Indonesia sudah tidak menyentuh aspek pemenuhan kebutuhan siswa. Pembelajaran menjadi kurang bermakna dan siswa tidak antusias. Hal terburuk bisa juga dipicu oleh kompetensi sang guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia. Sementara telah kita pahami bersama tentang bagaimana kebutuhan masyarakat yang kuat akan pendidikan budaya dan karakter bangsaPendidikan karakter
Bertolak dari fakta di atas dan anggapan masyarakat, bahwa SBI tak lepas dari bilingual sebagai medium of instruction membawa pemikiran tersendiri bagi penulis, utamanya berkaitan dengan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa identitas bangsa. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengajukan alternatif perlunya standarisasi kompetensi bahasa Indonesia pada sekolah bertaraf internaional (SBI). Pemikiran tersebut penulis rumuskan sebagai berikut:
(1)Bagaimanakah seharusnya standar penerapan pembelajaran bahasa Indonesia pada sekolah bertaraf internasional (SBI)?; (2) Bagaimanakah seharusnya standar kompetensi seorang guru yang berhak mengajar di sekolah bertaraf internasional (SBI); (3)Bagaimanakah seharusnya standar kompetensi bahasa Indonesia bagi siswa yang lulus sekolah bertaraf internasional (SBI)?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dapat dituliskan tujuan penulisan makalah yang sederhana ini adalah untuk mengetahui bagaimana idealnya:
(1)Standar penerapan pembelajaran bahasa Indonesia diterapkan pada sekolah bertaraf internasionl;(2)Standar kompetensi bahasa Indonesia bagi guru yang mengajar pada sekolah bertaraf internasional; (3)Standar kompetensi bahasa Indonesia yang harus dimiliki siswa lulusan Sekolah Bertaraf Internasional, terkait kompetensi berbahasa yang mencakup aspek berbicara, menulis, menyimak, dan membaca.

PEMBAHAAN
Globalisasi telah menciptakan kontak lintas antar batas negara, bangsa, dan bahasa meningkat kecepatan dan intensitasnya. Lalu lintas tidak saja terjadi melalui perjalanan, pertukaran jasa, dan komoditas melainkan juga melalui jalur elektronik dengan kecepatan yang dapat diukur dalam hitungan detik.
Sekolah Bertaraf Internasional dirancang untuk menjawab tantangan global itu. Dimana diharapkan lulusannya mampu bersaing dalam dunia internasional. Tak heran jika guru yang mengajar pada sekolah bertaraf internasional harus memenuhi standar tertentu. Selain diharapkan memiliki sertifikat pendidik, juga berijazah S2. Terutama terkait dengan penguasaan bahasa Inggris, guru pengajar pada sekolah SBI wajib memperoleh level 500 untuk toefl. Pembelajaran harus menggunakan dua bahasa (bilingual) sebagai bahasa pengantar kecuali pembelajaran pada mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Daerah. Kebijakan ini telah menuai kritik karena dianggap merendahkan bahasa Indonesia sebagai bahasa identitas bangsa.
Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas terkesan diabaikan siswa. Tidak up date.. Pembelajaran Bahasa Indonesia tidak menjadikan sebagai sesuatu yang dibutuhkan siswa. Pembelajaran menjadi sesuatu yang tidak menarik dan cenderung membosankan. Sementara sudah kita pahami bersama, bahwa Undang Undang no 24 tahun 2009 pasal 43 ditegaskan tentang upaya peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional Dimana syarat untuk mencapai itu adalah dengan adanya alat uji standar. Alat uji standar yang dimaksud kita kenal dengan istilah UKBI (Uji Kemampuan Berbahasa Indonesia)
Apakah kondisi seperti ini yang diharapkan pada Sekolah Bertaraf Internasional? Para siswa berlomba-lomba mengejar target Toefl 500 untuk mata pelajaran Bahasa Inggris dan cukup tenang dan santai terhadap perolehan kemampuan berbahasa Indonesia? Bahkan, yang lebih tragis adalah berdasarkan pantauan TIM BSNP bahwa beberapa siswa yang terpaksa mengulang Ujian Nasional tahun 2010, justru 75% disebabkan oleh nilai bahasa Indonesia yang kurang.
McKinsey Report 2007, menyebutkan kualitas sebuah sistem pendidikan tidak dapat melampaui kualitas guru-guru di dalamnya. Guru dalam pasal 6 UU RI nomor 14 tahun 2005 dijelaskan berkedudukan sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertangun jawab.
Berdasarkan hasil penelitian antara guru efektif dan guru kurang efektif yang mengajar pada siswa dengan fasilitas dan tingkat kemampuan sama disimpulkan, bahwa guru efektif dapat mengantarkan siswanya berhasil dalam Ujian yang diberikan. Sementara pada siswa yang diajar oleh guru yang tidak efektif gagal dalam ujian yang dimaksud. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa peran guru sangat penting dalam mencetak dan mengarahkan mutu dan kualitas sebuah sistem pendidikan.
Dalam buletin Infora yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Surabaya (2008:6), dijelaskan bahwa perkembangan UKBI di Provinsi Jawa Timur cukup menggembirakan. Terbukti selama periode Agustus 2004-Juni 2007 Balai Bahasa Surabaya telah melakukan sosialisasi dan tes UKBI kepada 4340 peserta yang terdiri atas guru, siswa, dan mahasiswa. Berdasarkan jumlah peserta tersebut, hanya terdapat 16 guru dan 24 siswa yang memeroleh skor UKBI dengan predikat istimewa. 16 guru dan 23 siswa yang memeroleh predikat sangat unggul. 609 guru, 736 siswa, dan 236 mahasiswa memeroleh peringkat madya. 2096 atau 49% peserta memeroleh skor dengan predikat semenjana. Bahkan 372 atau 9% mendapat skor dengan predikat marginal. 18 peserta lainnya menyandang predikat terbata. Sungguh hal ini sangat memprihatinkan kita semua. Terutama sekali adalah guru bahasa Indonesia yang sangat sedikit memiliki kemampuan unggul dan istimewa. Jika guru sebagai agen pembelajaran yang diharapkan mencetak gernerasi unggul dan berlevel internasional tidak dapat mencapai predikat unggul apalagi istimewa untuk kemahiran berbahasa Indonesia, bagaimana dengan siswanya. Berikut adalah tabel yang menunjukkan hasil sertifikasi peserta UKBI yang dimaksud.
Tabel : Hasil Sertifikasi peserta UKBI periode 2004-2007 Balai Bahasa Surabaya
Peringkat
Peserta Jumlah
Guru Siswa Mahasiswa
Istimewa 16 (1%) 24 (2%) 0 (0%) 40 (1%)
Sangat Unggul 16 (1%) 23 (1%) 0 (0%) 39 (1%)
Unggul 43 (2%) 138 (9%) 26 (10%) 207 (5%)
Madya 645 (26%) 759 (47%) 152 62%) 1565 (36%)
Semenjana 1422 (57%) 618 (38%) 68 (28%) 2108 (48%)
Marginal 322 (13%) 50 (3%) 0 (0%) 372 (9%)
Terbatas 16 (1%) 2 (0%) 0 (0%) 18 (0%)
Jumlah 2480 (100%) 1614 (100%) 246 (100%) 4340 (100%)
Untuk siapakah sebenarnya alat tes yang berupa UKBI tersebut diciptakan? Sekedar untuk memenuhi standar pengakuan internasional ataukah sebagai upaya memperkokoh posisi bahasa Indonesia di mata masyarakat pemakainya? Tidak ada pilihan yang paling tepat kecuali upaya sinkronisasi antara kepentingan lembaga kebahasaan dengan tujuan pendidikan nasional. Bagaimana bahasa Indonesia dapat diperhitungkan dalam kancah global sangat ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat pemakainya di masa depan. Apalah artinya sebuah standar ditetapkan tanpa ditindaklanjuti dalam bentuk pembinaan dan sosialisasi? Kenyataannya bahasa Indonesia selalu mengalami perkembangan sejalan perkembangan masyarakatnya. Mursal Esten dalam makalahnya (2002) menjelaskan, bahwa sastra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya)
Solusi yang bisa ditawarkan adalah berupa pemberlakuan standardisasi bahasa Indonesia. Walaupun faktanya bahwa Sekolah Bertaraf Internasional dirancang dan didirikan atas usulan dari pengelola satuan pendidikan dengan mengedepankan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun penerapan standardisasi sangat penting agar apa yang menjadi cita-cita tulus pendidikan nasional dapat terwujud.
Standardisasi yang dimaksudkan adalah standarisasi terhadap penerapan pembelajaran bahasa Indonesia pada Sekolah Bertaraf Internasional, standardisasi kompetensi bagi guru pengajar pada Sekolah Bertaraf Internasional, dan standardisasi kompetensi bagi lulusan Sekolah Bertaraf Internasional.
1. Project Based Learning (PBL) Orientasi Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Sekolah Bertaraf Internasional
Mengapa pembelajaran berbasis proyek (PBL)? Globalisasi yang ditandai dengan kompleksitas peralatan teknologi, dan munculnya gerakan rekonstrukturisasi korporatif yang menekankan kombinasi kualitas teknologi dan manusia, menyebabkan dunia kerja memerlukan orang yang dapat mengambil inisiatif, berpikir kritis, kreatif, dan cakap memecahkan masalah. Hubungan “manusia-mesin” bukan lagi merupakan hubungan mekanistik melainkan interaksi komunikatif yang menuntut kecakapan berpikir tinggi. Demikian halnya dengan pemberlakuan pasar bebas dan liberalisasi bidang jasa. Hal ini menyebabkan persaingan dalam dunia kerja semakin ketat.
Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagaimana amanat kurikulum diberikan bukan sekedar untuk mengajarkan pengetahuan tentang bahasa, melainkan bagaimana siswa dapat terampil mengunakan bahasa dengan baik. Keterampilan yang dimaksud meliputi aspek berbicara, mendengarkan, menulis, dan membaca.
Project Based Learning (PBL) atau Pembelajaran berbasis projek adalah pembelajaran yang mengarahkan siswa dapat menghasilkan sebuah produk. Projek yang dimaksud adalah projek individual atau grup yang dilaksanakan dalam suatu periode waktu, menghasilkan suatu produk, yang hasilnya kemudian akan ditampilkan atau dipresentasikan. Menggunakan berbagai macam resources, dengan pendekatan student-centered. Berhubungan dengan bidang sains, teknologi serta aplikasinya. Dan menggunakan pendekatan konstruktivisme, problem solving, inquiry, riset, integrated studies, pengetahuan, dan keterampilan, evaluasi, dan refleksi.
Belajar berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (CORD, 2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss & Van-Duzer, 1998). Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata (Thomas, 2000). PBL memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi, serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja (performance), yang secara umum pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner. Menurut Alamaki (1999), proyek selain dilakukan secara kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik, dan berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan pebelajar atau kebutuhan masyarakat atau industri lokal.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna. Pebelajar menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar mereka, instruktur memberi kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun penerapannya untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat pebelajar selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau instruktur di dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara langsung, akan tetapi instruktur menjadi pendamping, fasilitator, dan memahami pikiran pebelajar.
Proyek pebelajar dapat disiapkan dalam kolaborasi dengan instruktur tunggal atau instruktur ganda, sedangkan pebelajar belajar di dalam kelompok kolaboratif antara 4—5 orang. Pebelajar bekerja di dalam tim, untuk menemukan keterampilan, merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh pebelajar ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan hidupnya, Hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, Pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara pebelajar. Di dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
Buck Institute fo Education (1999) mendefinisikan, bahwa belajar berbasis proyek memiliki karakteristik: (a) pebelajar membuat keputusan, dan membuat kerangka kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, (c) pebelajar merancang proses untuk mencapai hasil, (d) pebelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinyu, (f) pebelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (i) kelas memiliki atmosfer yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Ciri khas strategi Pembelajaran Berbasis Proyek bersifat kolaboratif (Hung & Chen, 2000; Hung & Wong, 2000). Kegiatan pembelajaran seperti tersebut mendukung proses konstruksi pengetahuan dan pengembangan kompetensi produktif pebelajar yang secara aktual muncul dalam bentuk-bentuk keterampilan okupasional/teknikal (technical skills), dan keterampilan emploiabiliti sebagai pekerja yang baik (employability skills). Kegiatan ini berbasis pada konteks kehidupan sehari-hari pebelajar, baik fisik maupun sosial.
Tidak semua kegiatan belajar aktif dan melibatkan proyek dapat disebut Pembelajaran Berbasis Proyek. Thomas (2000) menetapkan lima kriteria apakah suatu pembelajaran berproyek termasuk sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Lima kriteria itu adalah keterpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah, investigasi konstruktif atau desain, otonomi pebelajar, dan realisme.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap kurikulum. Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; pebelajar mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau masalah, yang mendorong pebelajar menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Difinisi proyek (bagi pebelajar) harus dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang mengejar pebelajar, sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et al., 1991).
Pada Sekolah Bertaraf Internasional yang notabene adalah tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah, maka pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dengan berkolaborasi antar dua atau lebih guru mata pelajaran sesuai bidang tugas yang berbeda. Pembelajaran direncanakan dengan menganalisis kompetensi dasar dari beberapa mata pelajaran dimaksud yang kemungkinan dapat dijadikan sebuah proyek. Hal ini diharapkan, bahwa pebelajar dapat mengkontruksi pengetahuan yang dimiliki dalam menyelesaikan masalah. Pebelajar akan merasakan kebermaknaan pembelajaran yang dialami dan berkaitan dalam kehidupan nyata.
Pembelajaran berbasis proyek menempatkan bahasa Indonesia sebagaimana fungsinya sebagai alat komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana amanat kurikulum yang menekankan pembelajaran menitikberatkan pada kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia dibanding penguasaan pada pengetahuan tentang bahasa itu sendiri.
Pembelajaran berbasis proyek memberi kesempatan pebelajar untuk mengeksplorasi seluruh kecerdasan yang dimiliki. Pebelajar tidak hanya bekerja untuk mencapai tingkat kecerdasan kognitif saja sebagaimana dikemukakan dalam taxonomi Bloom, melainkan pada tingkat berpikir yang paling tinggi, yakni tingkat menciptakan. Gardner dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelegence menyebutkan bahwa manusia memiliki tujuh tipe kecerdasan yang berbeda. Karir atau profesi tertentu akan melibatkan kombinasi dari beberapa macam kecerdasan. Jarang sekali jenis pekerjaan tertentu itu hanya memerlukan satu dari ketujuh kecerdasan tersebut. Namun, dapat dipastikan bahwa jenis pekerjaan tersebut akan memerlukan satu kecerdasan yang sangat dominan.
Sekolah Bertaraf Internasional, sebagai kebijakan pendidikan nasional dalam rangka menciptakan suatu lembaga yang diharapkan mampu menjawab tantangan global dengan mencetak produk-produk Sumber Daya Manusia (SDM) unggul, sangatlah patut dan disarankan untuk menerapakan Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai landasan dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas selain juga pembelajaran harus berbasis teknologi informasi. Hal ini tidak hanya untuk menjawab keengganan pebelajar terhadap Bahasa Indonesia, juga untuk menempatkan pembelajaran Bahasa Indonesia dekat dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Education should allow children to reach their fullest potential in term of cognitives, emotional and creative capacities (UNESCO). Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencapai potensi tertingginya, baik dalam bidang kognitif, emosional, dan kemampuan kreatifnya.
2. Standar Kompetensi Bahasa Indonesia bagi Guru yang Mengajar pada Sekolah Bertaraf Internasional
Standarisasi kompetensi bahasa Indonesia bagi guru pengajar pada Sekolah Bertaraf Internasional yang dimaksud, antara lain:
1. Semua guru pengajar pada Sekolah Bertaraf Internasional wajib mengikuti tes UKBI dan dinyatakan lulus minimal mencapai level tertentu yang ditetapkan.
2. Khusus bagi guru Bahasa Indonesia, wajib mengikuti tes UKBI dan dinyatakan lulus dengan skor yang lebih tinggi dari kriteria yang ditetapkan pada guru mata pelajaran lain.
3. Bagi guru yang tidak mencapai standar yang ditetapkan tidak berhak mengajar pada sekolah yang dimaksud sebelum memperoleh pembinaan dan dinyatakan lulus.
4. Hasil uji kompetensi memiliki masa berlaku sesuai ketentuan yang ditetapkan. Dan harus mengikuti tes UKBI ulang untuk periode berikutnya.
5. Guru yang mengampu mata pelajatran Bahasa Indonesia harus menguasai strategi pembelajaran terutama Pembelajaran Berbasis Proyek
6. Guru Bahasa Indonesia pada sekolah Bertaraf Internasional wajib menguasai IT
Standarisasi yang dimaksud di atas pada gilirannya diharapkan dapat mendongkrak posisi bahasa dan sastra Indonesia bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek karena bahasa dan sastra Indoensia amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global. Demikianlah sebagaimana dikatakan Mursal Esten dalam artikelnya (Sosiolinguistik:2002), bahwa jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global tribe) yang baru itu.
3. Standarisasi Kompetensi Lulusan Sekolah Bertaraf Internasional
Standarisasi kompetensi lulusan adalah standar tentang kompetensi bahasa Indonesia yang ditetapkan bagi peserta didik pada akhir pembelajarannya di setiap jenjang satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Standar yang dimaksud adalah
1. Setiap siswa yang dinyatakan lulus tingkat satuan pendidikan tertentu harus mengikuti tes UKBI sebagaimana yang distandarkan oleh lembaga bahasa yang ditunjuk dengan pencapaian nilai sesuai predikat yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Setiap siswa yang dinyatakan lulus pada satuan tingkat pendidikan tertentu, setidaknya telah memnciptakan sebuah produk berdasarkan hasil pembelajaran berbasis proyek yang telah dijalani selama KBM. Produk yang dimaksud menunjukkan kompetensi membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan siswa dan berbasis teknologi informasi.
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara lain, tidak hanya dibutuhkan kemampuan menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris). Kemahiran dalam memanfaatkan teknologi menjadi sangat penting untuk dapat hidup dalam zaman globalisasi ini. Kemampuan menyelesaikan masalah dan berpikir kritis adalah modal utama agar dapat diterima dan survive dalam persaingan ketat akibat pasar bebas yang tidak hanya merambah dunia perdagangan melainkan juga di bidang jasa.
Karenanya kebijakan tentang sekolah bertaraf internasional (SBI) haruslah diimbangi dengan kebijakan lain yang mendukung terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kesatuan Republik Indonesia. Terutama terkait dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No 24 tahun 2009 tentang upaya peningkatan pemakaian bahasa Indonesia dalam tataran Internasional. Kebijakan yang sudah diimplementasikan dalam bentuk penetapan alat ukur kemampuan berbahasa yang dikenal sebagai Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Namun demikian, sebagus apapun alat ukur dibuat tidak akan berarti apa-apa tanpa sasaran yang jelas. Untuk siapakah alat ukur dibuat dan bagaimanakah rambu-rambu ketercapaiannya, serta apa target utama ketercapaiannya?
Kebijakan untuk mengimbangi penerapan sekolah bertaraf internasional (SBI) terkait perkembangan dan pembinaan bahasa Indonesia adalah penerapan standarisasi kompetensi bahasa Indonesia. Standarisasi yang dimaksud meliputi: (1) standarisasi terhadap penerapan Projeck Based Learning (PBL) atau
Pembelajaran Berbasis Proyek pada kegiatan pembelajaran matapelajaran
bahasa Indonesia.
(2) standarisasi kompetensi bahasa Indonesia bagi guru dan guru pengampu mata
pelajaran bahasa Indonesia yang mengajar di sekolah bertaraf internasional
(SBI). Bahwa guru dan guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia harus
mengikuti tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia dan mampu mencapai skor
tertentu yang ditetapkan.
(3) standarisasi kompetensi bahasa Indonesia bagi lulusan sekolah bertaraf
internasional. Setiap lulusan harus mengikuti tes berupa Uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia (UKBI) dan mencapai skor tertentu yang ditetapkan.
Setiap lulusan juga sudah menciptakan sekurang-kurangnya satu produk hasil
pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teknologi informasi.

Saran
Kepada pihak yang berkompeten terhadap kebijakan tentang SBI, bahwa
seyogyanya ada kebijakan yang menghubungkan antara kepentingan tujuan pendidikan Nasional dan tujuan pengembangan bahasa Indonesia agar apa yang menjadi cita-cita tulus Pendidikan Nasional menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional dapat terwujud.
DAFTAR RUJUKAN

Darma, Satria. 2007. Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz? (Online)
Fille://G:\sbi quo vadis.htm. Satriodarma’s Weblog. Diakses 13/07/2010

Darma, Satria. 2010. Kunjungan Guru SBI ke Jepang: Once Upon Time…
(Online) http://satriadarma-wordpress.com. Diakses 03/05/2010/
12:48PM

Depdiknas.1996. Sekolah Bertaraf Internasional. (Online)
www.depdiknas.go.id: diakses 21 Mei 2010-05-24, 2:44 PM

Desiree. 2009. Pembelajaran Berbasis Proyek. Makalah disajikan dalam
Diklat Adopt a Teacher Sampoerna Foundation. Teacherinstitute.

Dikmenum.Review Rencana Kegiatan Sekolah/Action Plan Sekolah
Penyelenggara Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (Online) www.sbi.dikmenum.go.id: diakses 21 Mei 2010, 2:24 PM

Esten, Mursal.2002. Bahasa dan Sastra sebaai IdentitasBangsa dalam Proses
Globalisasi. Laman Pusat Bahasa (Online) pb@diknas.go.id. Diakses 3/17/2010, 3:25:18 PM

Kamdi, Waras.2008. Project-Based Learning: Pendekatan Pembelajaran
Inovatif. (Online) www.snapdrive.net: diakses 4/19/2010:12:13:14 PM.

Komariyah, Siti.2008.Perkembangan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia
(UKBI) di Jawa Timur. Infora. I Januari hlm.5-8

Rofi’udin, Ahmad, dkk. Tth. Panduan Penulisan Makalah. Malang: YA3
Malang

Suparlan.2007. Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences) Penerapan dalam
Proses Pembelajaran dan Pengajaran (Online) www.suparlan.com. diakses 5/20/2010:12:24 PM.

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Th.2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional 2003.Jakarta.

------. No 24 Th.2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan.www.legalitas.or.

Wibowo, Munin Edy.2010. Berita Republika. (Online)
www.facebook.KGI.4:diakses 12:2010 PM

BIODATA PENULIS


Siti Nurjanah lahir di Bangil Kab. Pasuruan, 24 Nov. 1967. Pendidikan dasar diselesaikan di kampung kelahirannya, Bangil. Tahun 1986 masuk UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia, lulus 1992. Mengambil program A-4 pada IKIP Malang, lulus 1996. Diangkat CPNS tahun 2008, ditempatkan di SMPN I Bangil sampai sekarang. Tahun 2006 mengikuti pendidikan Magister pada prodi TEP UNIPA Surabaya, lulus 2008.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop